Header Ads

OTW Boja 24 Desember 2015

Sebuah kota kecil dengan penduduk kurang lebih 6,000 jiwa dengan tingkat densitas 500 jiwa/km2, wilayah Desa Boja membentang dari timur di Pertigaan Jamban hingga ke barat di Pasar Boja dan dari Dusun Sembung di selatan hingga Dusun Ngadibolo di sebelah utara.
Sarana pendidikan yang ada di Desa Boja meliputi: 
1) SD Negeri Boja 1, 2, 3, 5, 6, 7; 
2) SD Muhammadiyah; dan 
3) MI Al Maarif NU untuk sarana pendidikan dasar. 
Untuk sarana pendidikan menengah adalah: 
1) SMP 1 Boja, 
2) SMP Muhammadiyah, 
3) MTs Al Maarif NU, dan 
4) SMP PGRI. 
Sedangkan sarana pendidikan atas antara lain: 
1) SMA Muhammadiyah Boja, 
2) MA Al Maarif NU, 
3) SMA PGRI Boja, dan 
4) SMK Widya Nusantara.
Desa Boja terdiri dari 10 (sepuluh) dusun, yaitu: 
1) Dusun Jagalan, 
2) Dusun Sapen, 
3) Dusun Gentan Lor, 
4) Dusun Gentan Kidul, 
5) Dusun Kauman, 
6) Dusun Gedangan, 
7) Dusun Penaton, 
8) Dusun Pilang, 
9) Dusun Klesem, dan 
10) Dusun Ngadibolo.
Boja adalah desa di kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah, Indonesia. Boja berjarak sekitar 27 kilometer dari Kota Semarang.
Wilayah Desa Boja hampir 65% adalah permukiman dan sisanya adalah persawahan dan lahan kebun masyarakat.

River Walk, Cahyono
Arus balik di jalan alternatif Kaliwungu- Boja Kendal Jawa Tengah, hingga H+5 lebaran, masih terlihat normal. Kendaraan berplat nomor luar kota yang lewat di jalan penghubungkan Kendal-Ungaran itu, hanya terlihat beberapa.

Nah, jika Anda lewat jalan alternatif Kaliwungu – Boja tersebut, cobalah untuk mampir di tempat wisata River Walk Boja. Tempat wisata yang masih baru ini sangat cocok untuk keluarga.
Selain bisa menikmati permainan air, pengunjung juga bisa bermain dengan burung-burung yang berada di sangkar yang luas. Tak ketinggalan, pengunjung juga bisa berselfie berlatar pemandangan desa serta gambar 3 dimensi dan lainnya.
Jika lapar, di tempat wisata itu, juga dilengkapi rumah makan. Menurut pengelola tempat wisata River Walk, Cahyono, luas tempat wisata River Walk, ada sekitar 1,5 hektar.
Untuk tiket masuk, dikenakan biaya Rp 60.000 rupiah per orang. Setelah di dalam, pengunjung bebas memakai atau menikmati fasilitas yang ada. 

Diantaranya, bermain air, renang, foto selfie atau bermain dengan burung atau kucing.
Karcis masuk, bisa ditukarkan es krim.
kata Cahyono, Selasa (19/06).
Ia menambahkan, bila mau istirahat pihaknya juga menyediakan tempat penginapan. Tarif menginap, satu malamnya ada yang Rp 350.000 ribu dan Rp 600.000 ribu.

Yang 350 ribu satu kamar untuk dua orang, yang 600 untuk keluarga.
ujarnya.
Salah satu pengunjung asal Salatiga, Fariza, mengatakan tempat wisata River Walk, cocok untuk keluarga. Meskipun tempatnya tidak luas, diakuinya, River Walk, bisa jadi pilihan untuk bersantai menghilangkan kejenuhan.
Harga masuknya memang cukup mahal, tapi wajar karena kita dapat es krim dan bermain sepuasnya.
ujarnya.

Fariza, yang datang bersama 3 keluarganya merasa tidak bosan dan akan datang lagi bila ada kesempatan.


Asal Usul Desa Boja, Kendal, Jawa Tengah
Berawal dari cerita Tutur–Tinular dari para sesepuh desa Desa Boja dan dari dukungan dari beberapa buku catatan sejarah terkait dengan keberadaan desa Boja yang tidak lepas dari kegiatan bernama syawalan dan acara ziarah di makam se Dapu Boja, telah berjalan pada setiap tahun hingga sekarang.
Dimulai dari Tokoh yang bernama Ki Ageng Pandanaran yang kita kenal sebagai salah satu Bupati di Semarang, konon adalah Bupati yang pertama.

Ki Ageng Pandanaran adalah keturunan dari Pangeran Mode Pandan termasuk keturunan Sultan Demak Raden Bagus Sebrang Lor atau Pangeran Adi Pati Sepuh. Pangeran Mode Pandan mempunyai seorang putra bernama Raden Pandanaran dan seorang putri bernama Ni Pandansari.

Atas kehendak Pangeran Mode Pandan beliau mengajak putra dan putrinya dengan disertai oleh beberapa pengawalnya meninggalkan kota Demak menuju ke arah barat daya guna menyebarkan agama Islam.

loading...

Dan sampailah disuatu daerah yang bernama pulau tiring dan disitulah beliau mendirikan pesantren. Dengan keberadaan pesantren tersebut, daerah tresebut semakin ramai dan makmur karena disamping mengajarkan agama Islam, Pangeran Mode Pandan juga mengajarkan tata cara bertani yang baik. Berbagai jenis tanaman tumbuh di pulau tiring, hanya satu jenis pohon yang langka (Bhs : arang) yaitu pohon ASEM. Sehingga suatu ketika daerah yang bernama pulau tiring tersebut berubah menjadi SEMARANG dari kata ASEM dan ARANG. Dan disebut pula bergota karena tempatnya yang berbukit.
Pada suatu ketika putra Pangeran Mode Pandan yang bernama Raden Pandanaran memerintah Semarang sebagai Bupati yang pertama dijuluki Ki Ageng Pandanaran. Oleh karena dipandang sudah cukup untuk menjabat Bupati di Semarang beliau seperti halnya ayahnya, melepas jabatannya sebagai Bupati Semarang dan ingin menyebarkan agama Islam kemudian beliau pergi meninggalkan Semarang menuju ke arah selatan tiba disuatu daerah yang sekarang bernama Tembayat, beliau meninggalkan Tembayat dan dikenal sebagai Sunan Bayat.
Sepeninggal kakanya Raden Pandanaran, Ni Pandansari berkeinginan untuk menyusul jejak kakaknya tersebut dengan mengajak pengawal dan abdi kinasihnya bernama Wonobodro dan Wonosari (terkenal dengan sebutan Ki Wonobodro dan Ki Wonosari). Karena sewaktu akan meninggalkan adiknya tersebut Ki Ageng Pandanaran hanya berpesan akan menyebarkan agama Islam di daerah ke arah selatan, maka pengertian Ni Pandansari bahwa daerah selatan Semarang daerah yang bernama Blimbing Segulung, disitulah kakaknya berada. Sehingga pada suatu ketika rombongan Ni Pandansari sampailah di daerah tersebut yang ternyata perguruan agama (pesantren) dipimpin oleh Ki Jiwaraga. Dan pada saat itulah Ni Pandansari beserta oengikutnya memutuskan untuk diangkat sebagai murid di perguruan tersebut, yang secara langsung dengan suka hati diterima dierima oleh Ki Jiwaraga.
Di sebelah timur perguruan tersebut terdapat dearah yang banyak ditumbuhi berbagai tanaman bunga yang indah-indah, daerah tersebut terkenal dengan nama Tegal Sekaran (sekarang sudah menjadi sawah) dan sifat seoarng perempuan apalagi masih status seorang gadis yang baru menginjak dewasa (diceritakan bahwa Ni Pandansari adalah seorang remaja tergolong berparas cantik dan menawan) kerap bermain dengan sesama para santri di areal tersebut dan suatu ketika bersama kawan-kawannya membuat sayembara untuk saling menunjukkan kemahirannya membuat sumber mata air dan siapa yang berhasil akan mendapat anugerah. Ternyata semua kawan-kawannya tidak berhasil memenangkan sayembara tersebut, sehingga Ni Pandansari menancapkan kerisnya (Bhs Jawa : CIS atau Keris Kecil) di tanah sehingga berkat kekuasaan Allah, munculah sumber / mata air di lokasi dimana keris tersebut ditancapkan dan kelak sumber mata air tersebut bernama sendang Sebrayat atau juga disebut juga sendang Sebrayut. Karena dari sumber air tersebut bisa dimanfaatkan untuk keperluan mandi cuci, untuk pengairan sawah/tegalan bahkan konon apabila keluarga yang sudah lama belum memiliki keturunan (anak) air dari sumber tersebut bisa digunakana untuk sarat memperoleh keturunan (atas seijin Allah).
Suatu ketika di perguruan tersebut kedatangan seorang pemuda nan gagah perkasa, utusan dari Keraton Cirebon bernama K Dhapuraja (konon masih keturunan Sultan Cirebon) dan ikut berguru agama Islam di Perguruan Blimbing Segulung tersebut. Ada pepatah witing tresno jalaran saking kulino, maka kedua sejoli antara Ni Pandansari dengan Ki Dhapuraja timbul saling cinta mencintai dan berkat petunjuk Allah, maka kedua sejoli tersebut oleh Ki Jiwaraga dinikahkan dan hidup sebagai suami isteri.
Pada suatu ketika Ni Pandansari dan Ki Dhapuraja berpamitan kepada Ki Jiwaraga untuk hidup mandiri, kemudian kedua suami isteri tersebut pergi ke arah utara dengan diikuti oleh para pengiringnya termasuk abdi kinasihnya. Dan membuka daerah baru untuk tempat penyebaran agama Islam sekaligus untuk tempat tinggal (kini tempat tersebut disebut waqaf (langgar waqaf), karena di atasnya berdiri bangunan langgar. Karena kesulitan air untuk keperluan keluarga dan keperluan lainnya, maka Ni Pandansari mengajak suaminya untuk membuat saluran air yang airnya diambil dari sendang Sebrayut, namun suaminya tidak sanggup. Sehingga pembuatan saluran dilaksanakan sendir oleh Ni Pandansari dengan cara; Menggeret setagen (Bhs Jawa : Bengkung) dan atas izin Allah air mengalir mengikuti arah stagen/bengkung yang ditarik sampai di lokasi. Oleh karena Ni Pandansari juga dikenal dengan sebutan Nyai Dapu, maka saluran tersebut sampai sekarang juga disebut se Dapu. Saluran se Dapu sampai sekarang dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan untuk pertanian.

Ki Dhapuraja atau juga disebut Kyai Dapu berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke suatu daerah dan konon saking semangatnya nasehat Ni Pandansari (Nyai Dapu) tidak diindahkan, keinginan pergi tetap berjalan dan Kyai Dhapuraja meninggalkan istrinya. Ada suatu tempat yang oleh masyarakat sampai sekarang diberi nama Pasinan atau terkenal dengan nama Masinan, ada sumber (mata air) yang satu keluar air panas dan satunya kekuar air dingin, air yang panas tersebut melambangkan perasaan sang suami karena saking semangatnya untuk pergi dan sebaliknya air yang dingin melanmbangkan perasaan seorang isteri yang ditinggal suami dengan sabar dan tidak emosi. Tempat daerah dimana Kyai Dhapu tinggal, sekarang disebut Dusun Sedapu (Ndapu) salah satu dusun di Desa Kaliputih Kecamatan Singorojo Kab. Kendal.
Sepeninggal Kyai Dhapu, Nyai Dhapu atau Ni Pandansari tinggal bersama abdi kinasihnya bernama Ki Wonobodro dan ki Wonosai yang kelak Ki Wonosari pergi ke suatu tempat yang sekarang bernama Dusun Pilang ikut wilayah Desa Boja Kecamatan Boja Kab. Kendal dan wafat serta dikubur di Dusun Pilang (pepunden warga Dusun Pilang khususnya).
Konon cerita Ki Wonobodro mempunyau seorang anak bernama Kyai Bojo yang kemudian menjadi Lurah pertama di Desa yang kemudian dikenal dengan Desa Boja di samping itu juga masih membantu menyebarkan agama Islam seperti yang dilakukan Ni Pandansari dan Ki Wonobodro. Akhir hayatnya Nyai Dapu dikubur di makam Sedapu sekarang ini, sedangkan Kyai Bojo berada di pekuburan sebelah selatan. Kyai Boja memiliki pribadi yang sederhana, sampa makamnyapun tida mau dibuat yang permanen, beliau seorang pemimpin yang baik dan dihormati oleh masyarakatnya dan tidak senang dipuja, bahkan pohon yang berada di sekitar makamnya juga menghormat kepadanya (bisa dibuktikan sampai sekarang).
Tidak ada catatan sejarah sepeninggal Kyai Boja siapa yang menjadi Lurah Desa Boja selanjutnya, hanya pada zaman perang kemerdekaan; ada seorang Lurah bernama KROMOREDJO – yang konon juga sangat disegani oleh masyarakat, berwibawa, karena termasuk pejuang pada waktu itu, kebetulan Desa Boja termasuk daerah pendudukan Belanda (NICA) pada waktu itu, sehingga setiap siang hari wilayah Desa Boja ditinggal warganya termasuk luranya pada waktu itu meninggalkan Boja pergi ke daerah pinggiran desa untuk mengatur strategi perang gerilya dan setiap malam hari baru berani masuk ke desa. Sehingga ada cerita pada waktu perang gerilya tersebut karena dipandang oleh Pemerintah Hindia Belanda (NICA) Pemerintahan Desa Boja kosong, sehingga oleh Belanda ditunjuk seorang warga untuk menjadi Lurah (orang tersebut bernama SUMARYONO). Setelah keadaan kembali normal desa dipimpin lagi oleh KROMOREDJO – sampai akhir hayatnya dan digantikan oleh WIRYO MARTONO sebagai Lurah Boja yang baru sampai dengan sekitar tahun 1972, Tahun 1972 s/d tahun 1988 diganti oleh KUNDHORI REKSORAHARDJO dan tahun 1989 /d tahun 1999 SOEGITO dan tahun 1999 hingga sekarang oleh TEGUH EKO SANTOSO.
Nyai Dhapu (Ni Pandansari) sampai sekarang masih dihormati dan makamnya banyak dikunjungi peziarah baik warga Desa Boja maupun luar Desa Boja. Setiap bulan Syawal (seminggu setelah lebaran) menjadi tempat Syawalan bagi warga masyarakat Boja dan sekitarnya bahkan banyak peziarah dari daerah Sumowono dan sekitarnya. Tradisi Syawalan yang telah berlangsung cukup lama layak untuk tetap dipertahankan dalam rangka melestarikan budaya masyarakat sekaligus sebagai aset wisata rohani.

Cerita akulturasi warga etnis China di Semarang
Etnis Tionghoa pertama kali berlabuh di Kota Semarang, Jawa Tengah bertujuan untuk melakukan perdagangan. Mereka berlabuh di wilayah Mangkang, Kecamatan Semarang Barat yang saat itu bisa disinggahi kapal besar jenis Jonk atau Wakang Tjoen. Saat ini, tempat itu menjadi sentra kawasan industri dan pabrik berbagai produk mulai dari makanan, tekstil, logam serta kebutuhan pokok lainnya.
Saat datang ke Semarang, para kaum pria China berpenampilan seperti dalam film-film mandarin. Rambut mereka panjang dan dikuncir. Saat itu mereka ada yang berdagang dan menetap di sebuah desa di Wilayah Mangkang yang disebut dengan Desa Ngaliyan. Dalam bahasa Indonesia, Ngaliyan yang merupakan bahasa Jawa berarti perpindahan atau berpindah.
Pecinan di Kota Semarang, tidak sama seperti pecinan wilayah Indonesia lainnya. Karena mereka dibikin dan dikondisikan sama Belanda. Pemukiman etnis Tionghoa yang terkenal saat itu ada di Daerah Simongan, Daerah Mangkang dan daerah Ngaliyan. Waktu itu terjadi pemberontakan terhadap kaum Belanda yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Yang saat itu, kaum etnis Tionghoa bersatu dengan Amangkurat I kompak melawan Belanda di sekitar wilayah Lasem, dekat dengan Jepara. Maka tak heran sempat muncul cikal bakal batik Lasem di sana.
ujar tegas Sejarawan Semarang, Jongkie Tio saat ditemui di Rumah Makan Semarang di Jalan Gadjahmada, Kota Semarang, Jawa Tengah yang merupakan tempat tinggalnya, Jumat (4/2) malam.
Nama Desa Ngaliyan sendiri, dalam buku berjudul 'Kota Semarang Dalam Kenangan' karya Jongkie Tio berasal dari seorang ilmuwan Tionghoa bernama Na Lie Ang dari Gedung Batu. Dalam perjalanannya saat berguru dengan Ki Dapu di wilayah Boja, Kota Semarang, Na Lie Ang kemudian meninggal dan untuk mengabadikan namanya dinamakanlah wilayah itu dengan nama Ngaliyan.
Mulai saat itu banyak warga etnis Tionghoa yang masuk ke pedalaman dan membuat pemukiman seperti di wilayah Kranggan, Damaran dan Petudungan. Beberapa dusun-dusun yang muncul karena etnis Tionghoa yang membaur bersama warga pribumi di Kota Semarang seperti Jeruk Kingkit, Ambengan dan Pandean.
terang pria yang mempunyai dua nama lain yaitu Tio Tek Wan dan Dedy Budiharto ini.
Dalam urusan perdagangan para pendatang etnis Tionghoa lah yang maju dan menonjol. Tak heran jika saat itu, para pejabat pemerintah Belanda mengangkat seorang Ketua atau Kepala Etnis Tionghoa untuk urusan perdagangan. Munculah seperti; Lauitenant der Chinesen, Kapten ataupun Mayor. Kapiten der Chinesen yang saat itu ternama pada tahun 1672 adalah Tn Kwee Kiauw yang merupakan saudagar terkenal saat itu.
Orang Belanda dulu datang ke sini (Kota Semarang) tidak bisa lepas hubungannya dengan etnis Tionghoa. Mereka malah memerlukan sekali orang China. Karena yang bisa membelikan palawija di wilayah pedalaman ya si China itu. Om saya tukang beli palawija kawin dengan anak Lurah di salah satu wilayah di Magelang. Makanya si Londo (Belanda) itu sangat perlu dan dekat dengan Om saya. Jadi sudah bisa dilihat bagaimana hubungan penjajah Belanda, orang China dan pribumi Jawa di Kota Semarang. Mangan seko kunu, sandangan seko kunu (Makanan dan pakaian ya dari sana). Sudah melebur menurut saya.
tutur pria yang rambutnya serba putih ini.
Kemudian pada abad ke-17, sekitar tahun 1530, sesuai dengan buku Oversich van the Javanche Geschidenis karangan orang Belanda, JH Tops, beberapa orang Tionghoa mendatangkan tukang-tukang dari Batavia untuk membangun rumah. Rumah mereka yang dulunya hanya dari bambu dan anyaman kini berganti menjadi tembok tebal, dengan ujung atap khasnya.
Atapnya berbentuk kotak khas. Biasanya disebut dengan Sadle Horse, tempat duduk atau pelana kuda diatapnya. Namun saat ini rumah-rumah tersebut sudah banyak berkurang di wilayah pecinan seperti di Pekojan, Gang Baru, Gang Besen, Gang Lombok dan sekitar lainya.
ungkap pengusaha toko emas ini.
Maka saat itulah mulai terjadi pembauran antara etnis Tionghoa dan warga pribumi Kota Semarang. Apalagi beberapa lelaki etnis Tionghoa saat itu tidak membawa serta para istri mereka dari China. Munculah etnis Tionghoa yang merupakan keturunan dari penduduk asli Kota Semarang. Tak heran, mulai saat itu munculah beberapa para wanita keturunan etnis Tionghoa mengenakan kebaya, berambut konde (sanggul) dan mengunyah kinang (daun sirih) layaknya pribumi asli Kota Semarang.
Demikian juga dari segi bahasa sehari-hari, banyak kata-kata dari bahasa China yang digunakan untuk pergaulan sehari-hari mereka. Seperti kata-kata Cat atau Cet (cairan untuk mewarnai) berasal dari kata Hokkian 'Tjhat'. Kemudian kata Anglow, tempat api untuk memasak dari tanah liat diberinama Anglo dari kata 'Hanglow' dan lain-lainya.


loading...

Selain itu, saat itu mulai munculah beberapa kuliner atau masakan yang identik dengan bangsa etnis Tionghoa seperti; Bakso, Bakmi, Tahu, Bolang baling. Muncul juga bolang-baling yang jenis kurang manis dengan sebutan Gelek. Kemudian dikenal pula makanan seperti kue Ku, Bakpao, Wedang Tahu, Wedang Ronde, Kue Pia dan salah satu makanan khas Kota Semarang yang sudah mendunia yaitu Lumpia. Lalu makanan lainnya seperti; Siomay, Bihun, Misoa, Pangsit, Kue Moho, Kue Mangkok dan lain-lainya.
☆☆☆☆☆
Thank you for visiting the Nova Yuniarti Blog. Don't forget to leave a comments.